Jung pada abad ke-15 hingga ke-16
tidak hanya digunakan pada pelaut Jawa. Para pelaut Melayu dan Tionghoa
juga menggunakan kapal layar jenis ini. Jung memegang peranan penting
dalam perdagangan Asia Tenggara masa lampau. Ia menyatukan jalur
perdagangan Asia Tengara yang meliputi Campa (ujung selatan Vietnam) , Ayutthaya (Thailand), Aceh, Malaka dan Makassar.
Hanya saja, keadaan itu berbanding terbalik menjelang akhir abad ke-17,
ketika perang Jawa tidak bisa lagi membawa hasil bumi dengan jungnya ke
pelbagai penjuru dunia. Bahkan, orang Jawa sudah tidak lagi punya
galangan kapal. Kantor Maskapai Perdagangan Hindia-Belanda (VOC) di Batavia melaporkan pada 1677 bahwa orang-orang Mataram di Jawa Tengah tidak lagi memiliki kapal-kapal besar.
Dalam kata pengantar antologi cerpen berjudul jung Jawa oleh Rendra
Fatrisna Kurniawan yang diterbitkan Babel Publishing tahun 2009 dengan ISBN 978-979-25-3953-0,
disebutkan hilangnya tradisi maritim Jawa tersebut adalah akibat
kebijakan kerajaan Jawa sendiri setelah kekalahan mereka terhadap
Portugis dalam penyerbuan Malaka, yang kemudian lebih memusatkan pada
kekuatan angkatan darat.
Dari berbagai ulasan tersebut para sejarawan menyimpulkan, jung dan
tradisi besar maritim Jawa hancur akibat ekspansi militer-perniagaan Belanda. Serta, sikap represif Sultan Agung
dari Mataram terhadap kota kota pesisir utara Jawa. Lebih celaka lagi,
raja-raja Mataram pengganti Sultan Agung bersikap anti perniagaan. Apa
boleh buat, kejayaan jung Jawa hanya tinggal kenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar